Kamis, 07 Mei 2009

no name... part 2

Chapter 2

Bandung SuperMall adalah Mall terbesar di Bandung. Dan Mall ini juga,tempat favorit kedua gadis ini. Karin dan Indah memasuki mall tersebut dari pintu utama dan langsung menuju tempat tujuan mereka yaitu food court yang berada di lantai 3.

“Loe mau makan apa,Al ?” tanya Karin sambil melihat sekelilingnya.

“Gue sih terserah loe aja,Rin. Loe makan apa gue juga sama kayak loe. Tapi kalau loe makan racun,gue nggak mau loh!”

“Jayus banget sih loe!” Karin mendorong tubuh Alisa pelan. Dan Alisa pun mendorong tubuh Karin. Karena keasyikkan saling mendorong,nggak sengaja Karin hampir jatuh. Untung aja ada orang yang menahan tubuhnya.

“Loe nggak apa-apa kan?” tanya cowo yang menahan tubuh Karin.

Karin diam sesaat dan terus memandangi cowo itu. Ia merasa perasaannya bergejolak melihat cowo yang memapahnya. “Nggak apa-apa kok. Makasih yach,” ucapnya dengan gugup dan wajah yang bersemu merah.

Cowo itu tersenyum dan meninggalkan Karin dan Alisa. “Makasih yach,” teriak Karin.

Dan cowo itu melambaikan tangannya ke arah Karin.

Alisa merasa aneh dengan sahabatnya itu. Pasalnya ia nggak pernah ngeliat Karin sedekat itu dengan cowo apalagi cowo yang nggak dikenalnya. Ivan aja yang ngedeketin cewe ini langsung dijauhi. “Rin,loe suka ama cowo itu?”

“Nggak tahu,Al.Tapi gue ngerasa,gue kenal banget sama cowo itu. Tapi...mungkin perasaan gue aja kali.” Karin terus melihat ke arah cowo itu berjalan. “Nggak usah dibahas lagi deh. Jadi mau makan apa neh?”

“Kita makan di restoran jepang aja yuk,” ajak Karin seraya menujuk counter masakan khas jepang itu.

“Gue sih boleh-boleh aja,” jawab Alisa pendek. Karena Alisa udah mau,mereka berdua pun menuju counter itu yang tak jauh dari mereka dan memesannya.

“Rin,loe kan bilang kesini mau makan tapi kok makanan loe nggak diabisin sih? Masih mikirin cowo itu?”

“Iya nih,Al. Gue masih mikirin cowo tadi.” Karin terus memainkan sumpit yang dipegangnya ke dalam makanannya.

“Udah jangan mikirin orang itu terus,lebih baik loe makan makanan loe sekarang,Rin!”

Karin tak menghiraukan ucapan Alisa sama sekali. Kenapa yach? Perasaan gue mengatakan kalau Nico udah kembali kesini. Tapi...gue nggak pernah ngeliat dia sama sekali. Mungkin karena gue terlalu kangen sama dia aja kali,jadi seperti ini,pikir Karin dalam hati.

Setelah perasaannya tenang,Karin mulai melanjutkan memakan makanan yang ada didepan matanya itu. “Rin,besok loe ikut eskul tennis kan?” tanya Alisa mencairkan suasana yang sunyi.

“Mungkin.”

“Kok mungkin sih? Loe kan udah berapa kali nggak ikut eskul non. Kalau loe nggak ikut lagi,bisa-bisa gue yang diomelin sama kak Ariel.”

“Sebetulnya gue juga mau ikut eskul. Tapi..besok gue udah ada janji sama Ivan,” ucap Karin setelah meminum jus strawberry yang dipesannya.

“Janji kencan yach?” Alisa menggoda sahabatnya itu sambil tersenyum jail.

“Enak aja loe. Siapa juga yang mau kencan sama Ivan. Gue kan sama dia udah jadi sahabat tau!” beritahu Karin dengan polosnya.

“Iya. Buat loe emank jadi sahabat tapi belum tentu buat Ivan kan,Rin?”

Karin tersentak setelah mendengar ucapan Alisa. Apa mungkin yang dikatakan Alisa bener yach? Apa bener dia anggap gue bener-bener sahabat? “Gue yakin kok! Dia pasti anggap gue sama seperti gue nganggap dia,” jawab Karin dengan penuh keyakinan meskipun dalam hatinya,cewe ini belum yakin.

“Terserah loe aja deh. Emank loe berdua nanti mau kemana?”

“Mau ke perpus.”

“Idih,loe berdua doyan banget sih ke perpus tempat yang menyebalkan.”

“Itu kan buat loe,Al. Bukan buat kita,kan?” Karin tertawa geli melihat kelakuan Alisa yang terlihat alergi banget dengan yang namanya perpus itu.

“Dasar kutu buku sih emank beda aja,” ejek Alisa sambil menyeruput minumannya.

“Yee...biarin aja. Dasar sirik!”

“Enak aja. Siapa yang sirik lagi. Dari pada sirik ama loe lebih baik sirik ama hillary duff aja kali.”

“Al,cabut yuk! Udah jam 5 nih!” ajak Karin sambil melihat jam tangannya yang melingkar ditangan kanannya.

“Ya udah.” Alisa mengambil tasnya yang ada di meja lalu ia pun beranjak dari tempat duduknya dan diikuti oleh Karin. Mereka berdua meninggalkan tempat itu sambil mengobrol tentang cowo yang baru mereka temui.

************************************

Cuaca malam hari ini di Bandung sangat dingin dan di langit bertaburan bintang yang terus berkelap-kelip. Terlihat dari balkon sebuah rumah,seorang cewe berambut panjang dan membawa secangkir teh ditangan kanannya,duduk di balkon itu sambil menikmati pemandangan.

Ia meminum teh yang dibawanya untuk menghangatkan badannya. “Kenapa yach? Gue kok serasa kenal dekat sama cowo tadi,” pikir gadis ini semenjak tadi di mall.

Pandangan cewe ini yang tertuju ke atas langit. Tiba-tiba teralihkan melihat lampu rumah tetangga depannya menyala. “Apa gue nggak salah liat?” guman Karin sambil mengusap-ngusap kedua matanya. Pasalnya,sejak kepergian Nico dan keluarganya,rumah itu tak pernah dihuni orang lain. “Perasaan lampu rumah depan nggak pernah menyala sama sekali deh!”

Karin yang penasaran segera menghampiri rumah itu. Ia menaruh cangkir yang dibawanya tadi di meja belajarnya. Lalu ia bergegas keluar kamar dan menuruni anak tangga. Langkah kakinya terlihat sekali terburu-buru dengan memakai jaket dan membawa senter ia keluar rumahnya dan menghampiri rumah didepannya. Karin menyalakan senter yang dibawanya ke arah rumah bercat putih itu. Namun ia nggak melihat sama sekali sesuatu yang aneh. Lampu yang tadinya menyala pun terlihat tidak menyala saat Karin dekatin. “Mungkin gue berhalusinasi aja deh,” pikir gadis ini sambil memegangi rambutnya yang digebrai. “Kalau dia pulang juga pasti ngabarin mama kok!” guman Karin menenangkan dirinya.

“Rin,ngapain kamu malam-malam disini?” tanya seorang wanita muda yang sedang berjalan ke arahnya. Wanita itu adalah Renata, yang kerap di panggil oleh Karin dengan sebutan mba Rena. Mba Rena sekarang bekerja di sebuah perusahaan ternama di Bandung setelah pulang dari Kanada untuk kuliah. Rena dan Karin itu sangat dekat udah seperti kakak beradik. Makanya waktu Rena pergi ke Kanada untuk kuliah,Karin terlihat nggak rela. Karena menurutnya,yang bisa mengerti perasaannya hanya wanita ini saja.

“Nggak,mba. Tadi Karin ngerasa di rumah Nico tuh ada orang.” Beritahu Karin tak lepas melihat rumah yang disenterinnya tadi. Dan sekarang pandangannya beralih kepada Rena yang tepat berdiri disebelahnya. “Mba sendiri,ngapain disini?”

“Oh... mba abis beli bahan untuk masak.” Rena mengangkat kantong yang dibawanya kepada Karin. “Kamu ikut makan di rumah mba yuk!” ajak wanita ini dengan senyuman manisnya.

Kalau gue terima ajakan mba Rena juga nggak enak. Gue kan sering numpang makan dirumahnya. Masa kali ini gue juga numpang lagi sih,tengsin banget tau! “Nggak ah,mba,” tolak Karin malu-malu.

Dasar anak ini! Dari dulu nggak pernah berubah,pura-pura terus kayak gini,cetus wanita ini dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Udah ikut mba sekarang!” Rena menarik tangan Karin masuk ke dalam rumahnya yang berada tepat disebelah kanan rumah Niko.

“Mba,Karin pulang aja deh!” kata Karin nggak enak sambil melihat terus ke arah Rena yang sedang mengambil kunci rumahnya di dalam kantong celana.

“Ya ampun,Rin. Kamu kayak baru sekali aja makan dirumah mba sih. Nggak usah,nggak enakkan kayak gitu donk! Lagi pula orangtua mba lagi pergi ke resepsi pernikahan kok!” ujar Rena yang bisa membaca pikiran Karin.

Karin yang mendengar perkataan Rena menjadi malu. Karena cewe yang udah ia anggap sebagai kakak bisa membaca pikirannya itu. “ Kok mba ngomongnya kayak gitu sih?” tanyanya malu sambil menggulung-gulung rambutnya. Memang kebiasaan Karin dari kecil,kalau malu pasti ia akan menggulung-gulung rambutnya.

Rena yang melihat Karin menggulung-gulung rambut dapat mengetahui kalau adik angkatnya ini malu. “Nggak usah malu-malu sama mba,Rin. Mba tuh kenal kamu dari kecil jadi tahu tabiat kamu. Tahu orang tua mba nggak ada dirumah. Kamu mau kan makan disini nemenin mba?” tanyanya memancing.

“Hmm..gimana yach mba. Karin juga nggak enak ngeliat mba sendiri dirumah. Jadi..Karin temenin deh!” kata cewe ini yang pintar banget mencari alasan.

Rena mengacak-acak rambut Karin dan mengajaknya masuk ke dalam rumahnya.

Menurut Karin,Rena adalah cewe yang perfect. Udah pintar,berwibawa,mandiri,elegan,cantik,pandai masak. Bener-bener tipikan istri idalam deh! Dan masakan Rena tuh enak banget menurut Karin. Lebih enak dari pada masakan nyokapnya sendiri. Karin terus menatap tangan Rena yang sedang memotong wortel bagaikan menari. “Mba pinter banget sih motong wortelnya. Bentuk bagus nggak kayak mama!”puji Karin yang terus melihat gerakan tangan Rena.

“Kamu bisa aja,Rin. Menurut mba,motong kayak gini biasa aja deh!”

“Enak yach kalau bisa kayak mba Rena. Pintar,berwibawa,mandiri,elegan,cantik,pandai masak,andai Karin bisa kayak mba.”

“ Malahan mba yang iri sama kamu,Rin.”

“Iri sama Karin. Apa nggak salah?” tanya Karin tak percaya.

Tak terasa masakan yang dari tadi dimasak oleh Rena akhirnya sudah jadi. Cewe ini memindahkan sop yang dibuatnya ke atas mangkuk besar. Lalu ia menatap Karin dengan penuh arti. “Rin,kamu tuh punya sifat yang polos,ceria,nggak pantang menyerah,dan kamu tuh cewe yang berani. Walaupun orang melarang kamu ngelakuin sesuatu tapi kalau itu menurut kamu benar,pasti kamu ngelakinnya. Jadi,kamu nggak usah iri dengan orang lain. Karena kamu tuh sebenarnya mempunyai karakter yang dipunyai orang lain,” beritahu Rena dengan lembut sambil membelai rambut Karin.

Mata Karin terlihat berkaca-kaca mendengar ucapan Rena. Ia mulai sadar bahwa dirinya sendiri memiliki keistimewaan yang nggak dimiliki oleh orang lain. Air matanya mengalir mendengar ucapan kakak angkatnya itu.

“Udah Karin jangan nangis lagi. Lebih baik kita makan sekarang,nanti keburu dingin dan nggak enak,” ajak Rena sambil menyodorkan mangkuk yang berisi sop yang dibuatnya pada Karin.

Karin mengangguk dan menerima sop tersebut. “Mba,makasih yach. Makasih mba udah nyadarin Karin...,”ucap gadis ini lembut.

“Sama-sama,Rin.”

Kedua cewe ini pun memakan masakan yang tadi sudah dimasaknya sambil mengobrol senang. Dan Karin pun melupakan keanehan di rumah Nico yang dari tadi ia pikirkan.

*************************************

“Van,loe cari buku apa sih?” tanya Karin kesal. Ia terus membolak-balik buku yang dipegangnya itu.

Ivan terlihat sibuk mencari buku yang dicarinya di perpustakaan yang mempunyai 1700 judul buku itu. “Gue lagi cari buku adat jepang,Rin,” jawabnya.

“ Van,gue pesen minuman dulu yach!” Karin meninggalkan Ivan yang masih mencari buku adat jepangnya itu. “Mendingan gue ikut eskul tennis dari pada nemenin Ivan kayak gini,” gerutu Karin sambil melangkahkan kakinya ke samping perpus tempat terletaknya kafe.

“Permisi mba, mau pesan apa yach?” tanya pegawai kafe itu.

Karin membaca daftar menu yang diberikan pegawai kafe yang menghampirinya. “Saya pesan milk shake aja satu.”

“Browniesnya nggak mba?” tanya pegawai itu. Oh iya! Brownies di perpustakaan ini sangat enak loh! Makanya kalau ada yang mesen makanan atau minuman disitu pasti tawarin brownisenya juga,tapi nggak gratis loh!!

“Nggak usah,ma. Makasih.” Tolak gadis ini dengan halus. Pegawai itu pun pergi dan menyiapkan pesanan Karin. Cewe ini terlihat sekali menikmati suasana di kafe itu yang disuguhi dengan alunan musik jepang yang enak sekali didengar.

Nggak beberapa lama salah stau pegawai kafe menghampiri Karin dan memberikan pesanannya. Membuat cewe yang dari tadi menikmati musik ini terganggu namun ia tak memperlihatkan kekesalannya itu pada pegawai kafe tersebut. Ia meminum milkshake yang dipesannya tadi.

Saat Karin melihat ke arah kaca, ia tak sengaja melihat cowo yang menolongnya kemarin dengan seorang cewe. Terlihat sekali kekecewaan diwajah gadis ini. “Ternyata dia udah punya cewe...,” ucapnya kecewa. Lalu ia meminum kembali milk shake yang dipesannya sambil mengeluarkan diary miliknya dan pena.

Hai seseorang yang ada disana

Apa kabarmu yang selalu ingin kudengar

Semoga kamu baik-baik aja disana sama sepertiku disini

Entah kenapa belakangan ini aku merasa melihatmu

Apakah karena aku sangat merindukanmu?

Mungkin itu benar

Tapi yang jelas aku akan menunggumu untuk menepati janji kita

© Karin

Setelah Karin menulis ungkapan hatinya di dalam diarynya. Entah mengapa wajah cowo itu terlintas dalam benaknya terus. Ia merasa yakin kalau dirinya mengenal cowo itu.

“Sorry lama,” seru orang dibelakang Karin sambil membawa setumpukan buku di tanggannya.

“Nggak apa-apa kok. Udah ketemu bukunya?”

“Udah. Duh,gue nggak enak sama loe nih,Rin.” Ivan duduk didepan Karin dan terlihat sekali wajahnya yang terlihat bersalah itu.

Karin memegang bahu Ivan sambil tertawa. “Santai aja lagi,Van. Ngapain sih pake acara nggak enak segala. Bukannya udah biasa loe kayak gini?”

“Sialan loe. Udah gue nggak enakkan sama loe,loe malahan ngejek gue. Dasar anak nyebelin!” cowo itu mengacak-acak rambut Karin yang tertata rapi. Mereka berdua tertawa dan bercanda sangat keras,sampai-sampai semua orang yang lagi makan en baca terlihat terganggu sekali. “Rin,cabut yuk!” ajak Ivan berbisik setelah melihat ke sekitarnya.

“Yuk!” jawab Karin berbisik. Karena sadar udah mengganggu ketenangan orang disekitarnya itu.

Mereka berdua melangkah keluar dari perpustakaan favoritnya itu dan memasuki mobil Ivan yang diparkirkan didepan perpus tersebut. “Loe mau balik atau mau jalan dulu?” tanya Ivan sambil menyalakan mobilnya.

“Hmmm....gue ikut loe aja deh! Lagian hari ini gue lagi males di rumah,” jawab gadis yang duduk disebelah Ivan ini dengan polos.

“Ya udah. Kita ke sekolah aja yuk!” ajak cowo ini. Karin yang mendengarnya sedikit aneh. Karena ia nggak bisa sama sekali membaca pikiran cowo ini.

“Ngapain juga ke sekolah? Bisa-bisa nanti gue ketemu ama kak Ariel lagi,” guman Karin komat-kamit sendirian. “Ngapain ke sekolah sih,Van?”

“Gue mau ambil data-data buat nanti eskul.”

“Eskul? Emank itu bagian loe juga yach?”

“Ya iyalah non. Gue kan ketua osis,gue harus ngambil proposal buat nanti pertandingan yang diadakan club tennis.”

“Club tennis?” Karin mengulang lagi ucapan Ivan. Kok gue nggak tahu sama sekali sih! Kalau klub tennis ngebuat pertandingan kayak gitu. Apa kak Ariel nyariin gue,gara-gara ini? “Kok gue nggak tahu sih ada pertandingan tennis,Van?” tanya cewe ini lagi.

“Mana loe tau,non. Ikut eskul aja loe udah jarang kan?”

Mendengar sindiran Ivan,muka Karin berubah merah seperti tomat. Karena ia belum pernah disindir sama cowo yang masih menyukainya itu. “Ngapain loe sindir gue kayak gitu,” kata gadis ini sedikit sewot.

“Gitu aja ngambek sih.” Ivan mencubit pipi Karin yang cabi dengan tangan kirinya dan tangan kanannya tetap memegang setir. Kalau nggak bisa bahaya kan?

Kira-kira 15 menit,Karin dan Ivan sudah sampai di sekolah mereka tercinta. Karin yang tadinya nggak kepengen turun dari mobil terpaksa turun untuk menemui Kak Ariel dilapangan tennis. Sedangkan Ivan pergi ke ruang osis untuk mengambil proposal yang tadi ia biacarakan dengan Karin.

Karin terlihat takut dan cemas setelah melihat Kak Ariel sedang memarahi anak-anak di club tennis. Melihat itu semua,tadinya ngebuat cewe berambut panjang ini mengurungkan niat untuk menemui ketua tennis itu. “ Kalo lagi marah kayak gitu,mana berani gue ngedeketinnya,” ujarnya pelan dan takut.

Saat Karin ingin kabur dari tempat itu,keburu kak Ariel melihatnya. “Karin!” panggil orang itu dengan suara lantang dan keras,terlihat sekali ia sedang marah dari cara bicaranya.

Karin yang sudah membalikan badannya dan bersiap-siap untuk kabur,terpaksa memasuki lapangan untuk menemui ketuanya yang terkenal galak dan tertib banget itu!

Uups!! Bisa abis deh gue sama kak Ariel! Apa lagi mukanya udah ngebetein lagi,apes bener sih gue! Ucap Karin berulang kali dalam hatinya. Dengan gemetaran dan tangan yang berkeringat dingin,Karin menghampiri kak Ariel ditengah lapangan. Alisa yang melihat Karin menghampiri kak Ariel terlihat cemas. “Maaf,kak. Saya nggak ikut latihan hari ini,” ucapnya gugup.

“Apa gue tanya loe kenapa nggak ikut latihan?” tanyanya dengan sinis sambil memandangi Karin dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Karin menundukan kepalanya dan nggak berani bicara sepatah katapun. Karin tahu kalau ia berbicara sepatah katapun pasti mengkeruh suasana saat itu. Gue pasti nggak akan selamat deh! Pikirnya yakin dalam hati.

“Gue paling nggak suka dengar alasan apapun dari loe,Karin. Baru masuk klub tennis belum lama aja udah belagu! Orang kayak loe pasti nggak akan maju!” ucapnya pedas dan benar-benar menusuk.

Kuping Karin menjadi panas mendengar omelan kak Ariel terus menerus. Ia terlihat nggak bisa menahan emosinya. “Gue kan udah minta maaf!” teriaknya keras. Semua anggota klub tenis dan kak Ariel terlihat terkejut melihat keberanian Karin.

Kak Ariel terlihat marah sekali dengan Karin. “Oke. Gue akan denger semua alasan loe dan berani mundur dari jabatan gue kalau loe bisa menang ngelawan gue. Tapi kalau gue yang menang loe harus mundur dari klub tennis. Gimana? Loe berani?” tantang kak Ariel sungguh-sungguh.

Semua anggota klub tenis yang mendengar tantangan kak Ariel terkejut dan nggak percaya. Malahan mereka berani taruhan kalau Karin nggak bakalan menang melawan kak Ariel. Meskipun Alisa yakin ketua klubnya itu pasti menang tapi ia tetap mendukung sahabatnya.

Karin terlihat linglung dan nggak respek dengan ucapan kak Ariel. “Maksud kakak?” ucapnya pelan dan ragu-ragu.

“Kalau loe menang gue akan dengerin alasan loe dan mundur dari jabatan gue kalau loe bisa menang ngelawan gue. Tapi kalau gue yang menang loe harus mundur dari klub tenis. Gimana? Loe berani?” ujar kak Ariel sekali lagi dengan kesal.

“Tapi...tadi saya hanya...”

“Gue nggak mau denger alasan loe sama sekali. Ayo kita mulai,” potong kak Ariel. Ia berjalan ke arah tempat duduk disamping lapangan untuk mengambil raketnya. Sedangkan Karin trelihat pucat dan terpaku ditempatnya. Ia terlihat nggak yakin dengan apa yang terjadi sampai Alisa menghampirinya. “Rin,loe bener-bener berani yach,” bisiknya.

“Maksud loe apa sih,Al? Gue bener-bener nggak ngerti?” tanya Karin dengan polos.

“Aduh,Rin. Udah nggak ada waktu untuk tanya-tanya lagi. Lebih baik loe pakai sepatu sama raket gue...,” ujar Alisa cemas sambil melepas sepatu tenisnya dan memberikan raket tenis yang dipegangnya.

Karin yang terlihat bingung hanya dpaat menerima raket pemberian Alisa dan memakai sepatu milik sahabatnya itu. “Apa gue harus ngelawan kak Ariel,Al?” tanyanya nggak yakin.

“Iya,Rin. Loe harus ngelawan kak Ariel,” jawab Alisa tegas.

Kak Ariel yang melihat Karin dan Alisa yang terlihat sedang mengobrol menjadi kesal. “Woi,Karin!” panggilnya dengan lantang. “Apa loe itu pecundang atau hanya berani ngomong doank?” tanyanya kembali dengan sinis.

Karin yang tadinya gugup terlihat kesal berubah menjadi bersemangat setelah mendengar ejekan kakak kelasnya. Gugup dan cemas tak terlihat lagi diwajah Karin. “Ayo kita mulai. Gue udah siap,”ucapnya dengan lantang dan membara.

Pertandingan pun dimulai. Semua orang melihat pertandingan tersebut dengan seksama dan cemas. Banyak yang nggak menyangka kalau kemampuan Karin sama seperti kak Ariel. Karena melihat kemampuan keduanya seimbang banyak yang menebak-nebak pemenang pertandingan tersebut.

“Alisa!” panggil Ivan dari luar lapangan.

Mendengar namanya dipanggil-panggil,Alisa pun mencari sumber suara tersebut. Setelah ia mengetahui Ivan yang memanggilnya lalu ia pun menghampirinya. “Loe yang manggil gue,Van?” tanyanya.

“Sebenarnya ada apa sih,Al? Kok Karin bisa main sama Ariel sih?” tanya Ivan heran dan penasaran.

“Tadi Karin kesini terus kak Ariel manggil dia. Tapi pas waktu Karin mau ngejelasin kepana dia nggak bisa ikut latihan,kak Ariel ngejwabnya dengan sinis. Terus..”

“Terus Karin nggak terima sama ucapan Ariel terus dia nggak bisa nahan emosi dan jadi kayak gini. Benerkan?” potong Ivan.

Alisa terkejut dengan tebakan Ivan. Lalu ia memandangi Ivan dengan tersenyum tipis. “Ternyata loe kenal sifat Karin juga yach,Van?”

“Gue udah ngamati dia udah lama,Al. Jadi,gue nggak heran kalau dia pasti bertindak seperti itu. Tapi..menurut loe siapa yang akan menang antara Ariel sama Karin?”

“Gue selalu percaya sama Karin,Van. Gue yakin Karin bisa menang. Kalau loe sih?”

“Gue sama kayak loe. Gue percaya Karin bisa menang. Karena dia yang gue kenal selalu berani menghadapi tantangan meskipun pertamanya dia pasti bilang takut atau nggak berani.”

“Apa segitu dalam cinta loe ke Karin,Van?” tanya Alisa tiba-tiba.

Ivan terlihat terkejut dengan pertanyaan Alisa. Tapi ia tetap menjawab pertanyaan itu dengan cepat dan yakin. “Iya. Gue mencintai Karin segitu dalam. Meskipun dia nggak mempunyai perasaan yang sama ke gue. Tapi jadi sahabatnya pun,gue ngerasa senang kok,” jawabnya dengan lapang dada.

“Menurut gue, orang yang jadi pacar loe pasti senang,Van. Karena loe selalu mencintai seseorang dengan sungguh-sungguh.”

“Tapi..sayangnya Karin nggak berpikiran seperti loe,Al.” Mereka berdua asyik mengobrol mengenai Karin dan sama sekali nggak memperhatikan lagi kalau pertandingan sahabatnya,Karin udah berakhir sampai Karin sendiri yang menghampiri mereka. “Al,Van,” teriaknya dari jauh.

“Gimana pertandingannya?” tanya Alisa dari jauh.

“Loe berdua jahat yach! Masa loe berdua asyik ngobrol dan nggak ngedukung gue sih,” kata Karin kesal.

“Maaf deh! Tadinya juga kita berdua ngeliatin loe tanding kok. Tapi gara-gara keasyikan ngobrol jadinya lupa deh! Gimana? Menang kan?” tanya Ivan nggak sabar mendengar jawaban dari Karin.

“Gue...,gue...,” jawab Karin terlihat sedih. “hmm..gue..gue menang!” lanjutnya. Ivan dan Alisa yang tadinya cemas terlihat tertawa senang.

“Loe tuh bikin orang cemas aja sih,Rin. Dasar nyebelin!” Alisa memukul lengan Karin dengan keras.

“Nyebelin sih nyebelin,Al. Tapi jangan mukul kayak gitu donk! Sakit tahu!” Karin yang nggak mau mengalah pun memukul balik Alisa. Kedua orang itu selalu ribut sampai-sampai nggak sadar kalau kak Ariel udah ada dihadapan mereka.

“Kak Ariel,” panggil Alisa pelan.

Kak Ariel terlihat nggak memperdulikan Alisa. Matanya terus tertuju kepada Karin yang ada disebelah Alisa. “Sesuai perjanjian,gue akan mundur dari jabatan gue,Rin,” ucapnya tegas. Lalu ia memalingkan tubuhnya hendak meninggalkan Karin dan Alisa. Tapi sebelum itu terjadi,Karin memegang pundak kak Ariel dan memanggilnya. “Kak,” panggilnya. “Saya nggak mau kakak mundur dari jabatan kakak. Karena hanya kak Ariel yang pantas jadi ketua kita. Please,” pinta Karin dengan sangat.

“Janji adalah janji. Semua orang disini pun dengar janji gue jadi gue harus menepatinya. Sorry,gue nggak bisa....”

“Tapi yang bikin peraturan kan kakak bukan saya. Jadi,gantian saya yang bikin peraturannya,” potong Karin. “Teman-teman,” teriak Karin dengan keras. Sehingga semua orang yang ada dilapangan tersebut menoleh ke arah Karin. “Karena gue yang menang jadi gue yang bikin peraturan. Gue minta kak Ariel terus jadi ketua kita. Loe semua setuju kan?” tanya Karin dengan suara lantang pula. Tanpa menunggu lama semua anak di lapangan tersebut mengangkat tangannya tanda setuju. “Kakak udah liat kan? Semua anak masih mau kakak jadi ketua kita. Jadi,keputusannya kakak tetap jadi ketua kita disini. Sebetulnya kakak nggak salah kok! Yang salah tuh Karin,kak. Maaf yach,kak. Karin sering bolos latihan,maaf yach,kak!” seru Karin berulang kali.

Kak Ariel tersenyum tipis melihat Karin yang terlihat sungguh-sungguh. “Makasih,Rin. kamu masih percaya gue menjadi ketua disini. Asalkan loe nggak sering bolos latihan pasti loe bisa berprestasi,” jawab kak Ariel menepuk pundak Karin lalu pergi meninggalkannya bersama Alisa.

“Rin,loe hebat banget!” Alisa memeluk Karin tiba-tiba. “Gue nggak nyangka kalau sahabat gue yang cerewet dan nggak tahu diri kayak loe ternyata hebat juga!!”

“Al,loe tuh lagi ngejek gue atau muji gue sih?” tanya Karin seraya melirik kearah Alisa yang memeluknya. “Please,lepasin pelukan loe,Al. Gue nggak bisa nafas tahu!”

“Iya,iya,gue lepasin deh,” jawab Alisa sambil melepaskan pelukannya.

“Hei,kalian berdua,”panggil Ivan yang dari tadi melihat mereka berdua. “Jangan cuekin gue kayak gitu donk!”serunya kesal.

“Upps..gue lupa,Van! Gue lupa ada loe disitu,”kata Karin bercanda,

“Dasar nggak tahu diri banget loe,Rin!”

“Iya,nih anak benar-benar nggak tahu diri!” timbrung Alisa sambil mendorong tubuh Karin.

“Yee...suka-suka gue donk!” serunya sambil mendorong tubuh Alisa lagi.

“Rin,Al,mau pulang bareng nggak?” ajak Ivan.

“Nggak deh. Gue pulang sendiri aja,”tolak Alisa dengan halus.

“Gue pulang bareng Alisa aja deh,Van. Kasihan kalau dia pulang sendirian. Loe nggak apa-apa kan?”

“Nggak. Gue cuma kecewa,” ujarnya bercanda.

“Udah loe pulang sama Ivan aja,Rin. Biar gue pulang sendiri aja,” kata Alisa nggak enak.

“Gue bercanda kok,Al. Nggak usah serius gitu donk!” jawab Ivan sambil tertawa melihat mimik wajah Alisa yang lucu. “Kalau gitu gue cabut dulu yach! Bye!”

Karin dan Alisa melambaikan tangannya sambil melihat Ivan meninggalkannya. “Rin,kenapa loe nggak balik bareng sama Ivan sih?” tanya Alisa heran.

“Udah nanti aja sambil jalan. Sekarang loe beresin aja semua barang loe,Al!”

“Oke. Tapi nanti loe harus kasih tahu gue,awas kalau nggak!”

“Pasti gue kasih tahu loe,Al. Cepetan gue udah capek nih!” suruh Karin dengan kesal. Sekitar 10 menit,Alisa membereskan barang-barangnya plus mengganti pakaiannnya. Setelah siap semuanya baru ia dan Karin meninggalkan lapangan tersbeut bareng dnegan teman-teman yang lain.

“Rin,sekarang loe boleh bicara sama gue. Emank ada apa sih?” tanya Alisa penasaran dan heran. Abisnya nggak biasanya Karin mau capek-capek jalan kaki kayak gitu apalagi abis olahraga kayak gitu.

“Loe ingatkan sama cowo yang waktu kita temui di mall kan?”

“Ingat. Emank kenapa,Rin? loe suka sama dia yach? Terus loe nggak bisa lupain dia sampai sekarang,tebakan gue benar kan?” terka Alisa sambil menunjuk Karin.

“Bukan kayak gitu,Al. Tapi pas tadi gue pergi sama Ivan,gue ketemu lagi sama dia. Loe tahu nggak apa yang gue pikirin?”

“Loe masih nyangka kalau dia orang yang loe kenal kan,Rin. Benerkan ucapan gue?”

Karin mengangguk. “Bener,Al. Gue ngerasa yakin banget kalau dia Nico. Setiap kali gue ketemu dia pasti jantung gue berdetak kencang. Tapi...gue tahu keyakinan gue ini belum tentu benar. Karena yang gue ingat hanya wajah Nico saat kecil dan gue nggak pernah tahu wajah dia sekarang. ...,”jawabnya Karin sedih dan matanya terlihat berkaca-kaca.

“Mana Karin yang gue kenal sih? Mana Karin yang selalu percaya diri dan lincah? Kemana?”

“Alisa,”ujar Karin pendek.“Gue disini! Gue disebelah loe,Alisa. Gue adalah Karin yang percaya diri dan lincah. Gue bukan Karin yang lemah dan penakut,gue disini!” teriak Karin keras.

Melihat Karin yang dikenalnya telah kembali. Alisa hanya dapat tersenyum bahagia dan merangkul sahabatnya itu. “Ini baru sahabat gue,Karin,” ucap Alisa dengan bangga.

“Thanks yach,Al. Karena loe,gue bisa tersenyum seperti ini.” Mereka berdua berjalan sambil menikmati udara kota Bandung yang segar dan pemandangan yang indah.

Tidak ada komentar: